Status kewarganegaraan adalah sebuah status hukum yang menentukan kewajiban, hak, dan tanggung jawab seseorang terhadap suatu negara atau pemerintah. Status kewarganegaraan menunjukkan bahwa seseorang secara hukum diakui sebagai warga negara atau bukan dari suatu negara tertentu, dan dengan demikian memiliki hak dan kewajiban tertentu.
Status kewarganegaraan dapat ditentukan berdasarkan berbagai faktor seperti tempat kelahiran , keturunan, atau naturalisasi. Setiap negara memiliki aturan dan persyaratan yang berbeda-beda dalam menentukan status kewarganegaraan, dan seseorang yang memiliki status kewarganegaraan ganda dapat tunduk pada undang-undang yang berbeda di masing-masing negara.
Anda dapat membaca artikel lebih lanjut dalam artikel:
Daftar Isi
Pengertian Apatride: Ilustrasi dan Contoh Nyatanya
Apatride adalah status hukum di mana seseorang tidak diakui sebagai warga negara oleh negara manapun. Orang yang memiliki status apatride tidak memiliki kewarganegaraan atau hak-hak yang terkait dengan kewarganegaraan, seperti paspor dan hak memilih dalam pemilu.
Status apatride dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti ketiadaan undang-undang kewarganegaraan yang jelas, konflik kewarganegaraan antara negara, atau karena orang tersebut telah kehilangan kewarganegaraannya karena suatu alasan seperti mengajukan naturalisasi di negara lain tanpa memperoleh persetujuan dari negara asalnya.
Karena tidak memiliki kewarganegaraan, orang yang memiliki status apatride dapat menghadapi kesulitan dalam memperoleh hak-hak dasar seperti akses ke layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak lainnya.
Oleh karena itu, keberadaan apatride diakui sebagai isu hak asasi manusia yang penting dan beberapa negara telah menandatangani konvensi internasional untuk melindungi hak-hak orang yang memiliki status apatride.
Ilustrasi Terjadinya Apatride (Tidak Memiliki Kewarganegaraan)
Sebagai contoh, seorang anak lahir di Indonesia dari orang tua yang bukan warga negara Indonesia. Jika Indonesia menerapkan asas ius soli, anak tersebut akan menjadi warga negara Indonesia karena lahir di wilayah Indonesia. Namun, jika Indonesia menerapkan asas ius saunginis, anak tersebut tidak akan diakui sebagai warga negara Indonesia karena tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan warga negara Indonesia.
Sebaliknya, jika seorang anak lahir di luar negeri dari orang tua yang adalah warga negara Indonesia, jika negara tempat anak tersebut lahir menerapkan asas ius soli, anak tersebut akan menjadi warga negara negara tersebut. Namun, jika negara tempat anak tersebut lahir menerapkan asas ius saunginis, anak tersebut tidak akan secara otomatis menjadi warga negara Indonesia karena tidak memenuhi kriteria ius saunginis.
Dalam kasus-kasus seperti ini, anak tersebut dapat menjadi apatride dan kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, termasuk hak untuk mengakses layanan pemerintah dan hak-hak lainnya. Untuk mencegah terjadinya apatride, Indonesia telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan atau dari orang tua yang kewarganegaraannya tidak diketahui dengan persyaratan tertentu.
Contoh Nyata Kasus Apatride
Penerapan perbedaan asas ius saunginis dan ius soli dapat menyebabkan beberapa kasus apatride di beberapa negara, terutama ketika ada konflik atau perbedaan pandangan tentang bagaimana status kewarganegaraan diberikan. Beberapa contoh kasus apatride akibat perbedaan asas ius saunginis dan ius soli antara lain:
- Kasus anak-anak migran di Amerika Serikat: Beberapa anak yang lahir di Amerika Serikat dari orang tua imigran tanpa dokumen dianggap sebagai warga negara Amerika Serikat karena menerapkan asas ius soli, namun orang tua mereka masih dianggap sebagai pendatang ilegal dan bukan warga negara Amerika Serikat. Ini bisa menyebabkan anak-anak menjadi apatride jika orang tua mereka dideportasi atau tidak memiliki status kewarganegaraan.
- Kasus anak-anak imigran di Arab Saudi: Arab Saudi menerapkan asas ius saunginis, artinya hanya orang yang lahir dari ayah yang berwarganegara Saudi yang diakui sebagai warga negara. Anak-anak yang lahir di Arab Saudi dari orang tua yang bukan warga negara Saudi tetap dianggap sebagai pendatang dan mungkin tidak memiliki status kewarganegaraan.
- Kasus Rohingya di Myanmar: Myanmar menerapkan asas ius saunginis, sehingga hanya orang yang dapat membuktikan keturunan dari kelompok etnis Burma yang diakui sebagai warga negara. Karena Rohingya dianggap sebagai kelompok etnis asing, mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar dan menjadi apatride.
- Kasus orang Palestina: Negara Israel menerapkan asas ius saunginis, yang membuat orang Palestina yang tinggal di wilayah Israel tetap dianggap sebagai pendatang, meskipun mereka telah tinggal di sana selama beberapa generasi. Hal ini menyebabkan banyak orang Palestina kehilangan status kewarganegaraan dan menjadi apatride.
- Kasus anak-anak imigran di Jepang: Jepang menerapkan asas ius saunginis, dan anak-anak yang lahir di Jepang dari orang tua imigran mungkin tidak diakui sebagai warga negara jika orang tua mereka tidak memiliki status kewarganegaraan atau dokumen resmi. Ini dapat menyebabkan anak-anak menjadi apatride.
Pengertian Bipatride: Ilustrasi dan Contoh Nyatanya
Bipatride adalah status kewarganegaraan di mana seseorang memiliki dua kewarganegaraan secara sah dan bersamaan dari dua negara yang berbeda. Ini berarti bahwa seseorang dianggap sebagai warga negara dua negara dan memiliki hak dan kewajiban di kedua negara tersebut.
Bipatride dapat terjadi jika dua negara menerapkan asas ius soli, di mana seseorang dianggap sebagai warga negara berdasarkan tempat kelahirannya, atau asas ius saunginis, di mana seseorang dianggap sebagai warga negara berdasarkan kekerabatan dengan warga negara negara tersebut. Misalnya, seorang anak lahir di Amerika Serikat dari orang tua Indonesia, maka anak tersebut akan memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat berdasarkan asas ius soli dan kewarganegaraan Indonesia berdasarkan asas ius saunginis.
Bipatride juga dapat terjadi melalui naturalisasi, di mana seseorang memperoleh kewarganegaraan dari negara lain tanpa melepaskan kewarganegaraannya yang lama. Beberapa negara mengizinkan warga negaranya untuk mempertahankan kewarganegaraannya saat memperoleh kewarganegaraan lain, sehingga seseorang dapat memiliki dua kewarganegaraan secara legal.
Namun, status bipatride juga dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti masalah dalam mengakses layanan pemerintah atau perjalanan antarnegara. Beberapa negara juga tidak mengakui kewarganegaraan ganda, sehingga seseorang harus memilih satu kewarganegaraan dan melepaskan kewarganegaraannya yang lain.
Ilustrasi Terjadinya Bipatride di Indonesia (Memiliki Kewarganegaraan Ganda)
Di Indonesia, asas ius soli diterapkan untuk anak-anak yang lahir di Indonesia. Ini berarti bahwa jika seorang anak lahir di Indonesia dari orang tua asing, anak tersebut akan memiliki kewarganegaraan Indonesia berdasarkan asas ius soli.
Namun, jika orang tua anak tersebut juga memiliki kewarganegaraan dari negara lain, anak tersebut akan memiliki kewarganegaraan ganda, atau bipatride, dari Indonesia dan negara asing tersebut.
Di sisi lain, jika seseorang lahir di luar negeri dari orang tua Indonesia, orang tersebut dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui naturalisasi, berdasarkan asas ius saunginis.
Namun, pemerintah Indonesia tidak mengakui kewarganegaraan ganda secara resmi, sehingga seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda harus memilih satu kewarganegaraan dan melepaskan kewarganegaraannya yang lain. Namun, di Indonesia terdapat beberapa pengecualian dalam penerapan aturan ini, misalnya dalam kasus pernikahan campuran atau untuk pekerja asing yang tinggal di Indonesia untuk waktu yang lama.
Dalam beberapa kasus, status bipatride dapat memberikan manfaat, seperti memudahkan mobilitas global dan membuka peluang untuk bekerja di berbagai negara. Namun, status bipatride juga dapat menimbulkan masalah dalam mengakses layanan pemerintah, seperti hak pilih dan akses ke layanan sosial, serta mempersulit perjalanan antarnegara jika negara lain tidak mengakui kewarganegaraan ganda secara resmi.
Contoh Nyata Kasus Terjadinya Bipatride
Salah satu contoh kasus bipatride adalah atlet ganda putra bulutangkis Indonesia, Kevin Sanjaya Sukamuljo. Kevin lahir di Sukabumi pada 2 Agustus 1995 dari orang tua yang berwarga negara Indonesia. Namun, pada usia 11 tahun, Kevin pindah ke Malaysia bersama keluarganya dan mengikuti pendidikan di sana selama beberapa tahun.
Selama berada di Malaysia, Kevin memperoleh kewarganegaraan Malaysia berdasarkan asas ius soli. Setelah kembali ke Indonesia dan menekuni karir sebagai atlet bulutangkis, Kevin mendapatkan kesulitan dalam hal administrasi karena status kewarganegaraannya yang ganda. Kevin harus memilih satu kewarganegaraan dan melepaskan kewarganegaraannya yang lain.
Meskipun demikian, kebijakan pemerintah Indonesia memperbolehkan atlet yang memiliki kewarganegaraan ganda untuk mewakili Indonesia di ajang olahraga internasional. Sehingga Kevin tetap dapat menjadi bagian dari tim bulutangkis Indonesia dan berhasil meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2021 bersama dengan pasangannya, Marcus Fernaldi Gideon.